13 Desember 2007

  • Mengasihi berarti; bersedia mengampuni kesalahan orang lain, bersedia menghargai kebaikan dan kelebihan orang lain, bersedia menghormati keberadaan orang lain dengan tulus.

Siapapun pasti pernah merasakan saat dimana paling tidak nyaman. Apapun bentuk masalah itu. Ketidaknyamanan itu ada yang berbekas lama, tapi ada juga yang hanya numpang lewat saja. Begitupun aku.

Suatu ketika aku pernah merasakannya. Permasalahan keluarga adalah suatu keadaan yang selalu membuat guncang seluruh isinya. Meski yang bermasalah adalah satu atau dua orang anggotanya saja.

Aku (merasa) dibesarkan secara sepihak. Hanya pengaruh, didikan dan ajaran ibu yang aku terima saat itu. Bahkan, sepertinya sampai sekarang. Peran ayah yang seharusnya jadi peran sentral dan penting, dengan segala sesal aku harus merasa meniadakannya. Merasa meniadakan. Bukan tidak ada!

Ayah adalah orang yang samasekali tidak ekspresif; jarang ngomong masalah keluarga, jarang komentar dan bahkan seperti susah untuk memutuskan mana yang harus dan tidak untuk keluarga. Melulu ibu. Maka tak heran jika aku (malah seluruh saudaraku yang lain) merasa ibu adalah tulang punggung dan andalan kami dalam menghadapi segala permasalahan. Aku, semenjak akhir SD menyadari secara tidak langsung tentang masalah “kepincangan” ini. Tapi aku tidak mengambil pusing. Tak pernah perlu merasa gusar yang hebat. Karena selama ini ibu sudah cukup untuk menutupi segala kegusaran itu.

Kehidupan berjalan dengan sunyi. Segala pengalaman terlampaui. Proses demi proses teralami. SMP, SMA, remaja, puber dan menginjak dewasa merupakan fase yang teralami juga olehku. Dengan segala kelebihan dan kekurangan, tentu.

Kedewasaan tak mudah didapatkan begitu saja, ternyata. Ujian untuk mengukuhkan diri sebagai orang yang punya jiwa dan pikiran dewasa memang tak mudah; ibu mulai melirik rumput sebelah.

Jika awalnya merasa pincang, maka sekarang aku seperti kehilangan semua kaki. Ingin berlari, menjauh dan menghindar.., tak bisa. Berjalan pun harus tertatih dan tak jarang merangkak.

Aku marah. Aku sedih. Aku kecewa. Aku sakit. Untuk saat itu.

Ayah hanya seperti biasa; diam dengan segala misteri. Entah marah yang tak bisa terkatakan dan tersalurkan atau memang memaklumi dan memaafkan karena mau ga mau ini semua erat hubungannya dengan beliau. Entah…

Seluruh saudara kandungku histeris. Tak tahu harus bagaimana dan seperti apa mereka mengahadapi semua ini.

Separah apapun yang menimpa diriku, untungnya aku masih ingat dan mengamalkan apa yang ibu ajarkan. Aku harus sabar. Aku harus kuat. Mencoba melihat dari segala sisi suatu permasalahan. Mengajak semua yang terlibat dan terkena untuk berkompromi, lalu secara aklamasi mendengar keputusan yang tidak memberatkan semua orang.

Aku memaafkan ibu dan Mr. X.

Aku mengubur dan menekan dalam-dalam perasaan dendam dan bisikan syetan yang saat tahu kejadian itu, aku mampu meluluhlantakkan Mr. X, bahkan semua orang dan makhluk hidup yang ada di dunia ini. Dengan segala cara. Karena syetan akan dengan sangat senang membantu jika niatku itu sempat di awali.

Memaafkan tidak lepas dari rasa kasih yang kuat dari dalam diri. Tuhan maha pengasih dan penyayang. Maka dari itu, minimal, aku bisa mengasihi orang banyak meski untuk menyayangi, aku masih harus selektif.

Ketulusan adalah sebuah keadaan dimana kecamuk jiwa, gemuruh jafsu, bisikan nurani dan kehebatan akal didudukan seimbang dalam sutu perhelatan yang akrab dan penuh dengan saling pengertian.

Masih terlalu banyak latihan ketulusan yang akan menghadangku didepan.

Doakan aku untuk tetap bisa menghadapinya.

Tahnxlovesorry.embrace..

Tidak ada komentar: