Jika hidup adalah menulis, maka kematian adalah grand lounching dari karya tersebut. Penyajian, alur, gaya, kosakata, bobot, pesan… semua tergantung niat dan hanya kita yang tahu caranya.
Aku sering menulis dan mengungkapkan bahwa aku merasa lebih mengenal siapa itu einsten, marx, pram, jalaludin rahmat, gus dur, amien rais.. daripada menganal ayah atau kakek atau buyutku sendiri. Itu bukan karena aku lebih akrab dan dekat dengan selain ayah-kakek-buyutku. Tapi karena mereka membuat dan menuangkan ide dan pemikirannya lewat tulisan. Ayah-kakek-buyutku tidak. Mereka hanya “menulis” saja.
Oke. Itu memang masalah tulis menunulis pada konteks yang sebenarnya. Yang akan aku bahas disini adalah menulis dengan arti bukan sebenarnya. Kenapa di atas ada kata menulis dengan memakai tanda kutip. Itu karena menulis itulah yang akan aku bahas sekarang ini.
Berkaitan sekali dengan kehidupan dan kematian. Beberapa hari kemarin, tetangga yang biasa aku panggil mak meninggalkan dunia fana ini. Sebagaimana kebiasaan orang yang masih hidup adalah membicarakan bagaimana “tulisan” almarhumah semasa hidup. Ini-itu kejadian seperti diputar dalam rekaman kamera dengan memori maha canggih; otak. Seperti dibacakan oleh news caster di televisi swasta dengan pelafalan yang sempurna.
Aku lantas berpikir; bukankah mereka (yang hidup) sedang membacakan cerita dari si almarhumah. Masih untung penyajian dan cerita si almarhumah tidak menyeramkan dan tidak useless. Bagaimana jadinya kalo ada orang yang meninggal, sedangkan semasa hidupnya banyak melakukan hal yang sering bertentangan dengan orang banyak?
Aku jadi ngeri sendiri memikirkan misteri yang tak akan pernah bisa menemukan jawabannya secara pasti: kapan maut akan menjemput kita? Sedang bercerita apa ketika masa itu datang? Haruskah menumpuk naskah itu dalam benak saja?
Aku pikir, lebih baik mengaplikasikannya dari sekarang. Dengan menuliskannya atau “menuliskannya”.
Thanxlovesorry.embrace…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar